PARKIRAN

“Sebentar Mas”, laki-laki paruh baya itu menunjukkan raut muka bingung sambil merogoh saku bajunya, kemeja putih lusuh dengan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka membuat tulang dadanya yang menonjol terlihat sempurna, sekalipun sebuah peluit menggantung di sana. Pak tua itu kurus.

“Sebentar Mas”, kalimat itu ia ulang lagi. Kali ini sambil merogoh saku celana kain yang dipakainya. Warna hitam celananya tak bisa menutupi serut-serut benang yang sudah mulai terlepas di ujung bawahnya. Tangan kanannya kesulitan menggapai saku kiri celananya. Seharusnya mudah jika ia menggunakan tangan kiri. Namun tangan kirinya sedang memegang sebuah tongkat lampu seperti pedang laser di film “Star Wars”, benda yang lumrah dipegang oleh seorang penjaga parkir.

“Sudah Pak, dibawa saja kembaliannya.” Ucapku sambil berharap menyudahi kebingungan bapak itu.

“Bener Mas?”

“Iya Pak” Suaraku agak aneh karena bicara sembari menahan napas, mencoba mendorong motorku mundur. Berat. Ada batu trotoar yang mencuat ke atas, menjadikannya semacam pengganjal roda belakang motorku.

“Dinaiki aja Mas motornya”. Bapak itu kemudian dengan sigap menarik motorku mundur. Batu trotoar yang mencuat tampak bukan tandingan bagi ototnya yang mungkin telah ratusan kali menarik motor. Seketika ia bunyikan peluit panjang, sambil melambai-lambaikan “pedang Star Wars”nya. Warna merahnya terlihat terang di gelapnya malam ini. Baterainya pasti baru. Tapi dia lakukan itu di tengah jalan! Membuat kendaraan apapun, bahkan sekelas Toyota Alphard, tak berani melaluinya. Membiarkan motorku dengan leluasa menemukan jalannya.

Nekat benar pak penjaga parkir itu, nyawa ia pertaruhkan demi sebuah pelayanan prima. Itu semua semata karena beberapa ribu uang kembalian yang kuminta padanya untuk disimpan saja. Sebuah pemberian ternyata bisa begitu bermakna.

Di tahun 2010 lalu Kota Pekalongan, tempat asalku, sempat heboh. Sepasang suami-istri akhirnya naik haji. Biasa? Tidak juga kalau profesi sang suami adalah pak becak. Selama dua puluh lima tahun beliau mengumpulkan uang ribuan untuk bisa berangkat haji. Aku tak yakin berapa simpanan yang tersisa dari penghasilan menarik becak tiap harinya, apalagi jika harus digunakan untuk membiayai istri dan keenam anaknya. Namun pak becak ini bersikeras menabung sedikit demi sedikit, merelakan makan seadanya dan bekerja sampai pagi untuk melaksanakan tekadnya: naik haji.

Pak becak itu biasa menyisihkan seperempat hingga setengah penghasilannya tiap hari dan sisanya untuk kebutuhan keluarga. Beliau menabung di sebuah kotak, setelah terkumpul setidaknya satu juta barulah dipindah ke bank. Pada tahun 2008 beliau akhirnya mampu mendaftar haji dengan biaya 21 juta. Puncaknya pada tahun 2010 lalu beliau berangkat haji dengan diiringi pak becak se-Pekalongan. Luar biasa.

Menabung itu juga kebaikan, dari recehan tiap hari hingga menjadi dana haji. Sekali lagi meyakinkanku, bahwa tidak ada kebaikan yang terlalu kecil untuk dilakukan.

Lamunanku terpotong. Titik-titik hujan mulai menampakkan bekasnya di speedometer motorku. Bagaikan pasukan perintis yang akan diikuti serdadu-serdadu air lainnya untuk menghujam bumi. Benar saja, kilatan cahaya dan gemuruh guntur seolah membuka pintu gerbang awan pekat di atas sana. Hujan pun turun. Deras.

Kuputuskan berhenti sejenak di bawah pohon untuk sekedar mengenakan jas hujanku. Pohon di pinggir jalan memang berguna untuk berteduh sementara jika hujan datang tiba-tiba. Namun bisa jadi bencana jika angin mulai ikut serta.

Angin yang menghantarkan hujan mengoyak sebagian ranting pohon, membuatnya terlentang di jalan raya, menunggu roda-roda menggilasnya dengan keras. Sekali lagi para penjaga parkir di tepian jalan sesekali menuju ke tengah untuk menyingkirkan ranting-ranting yang berserakan. Itu juga merupakan kebaikan yang kecil. Iyakah? Benarkah itu kebaikan yang kecil?

Bukankah Nabi s.a.w. bersabda, “Sungguh aku telah melihat seseorang yang bersuka ria dalam surga dengan sebab memotong sebuah pohon dari tengah jalanan yang pohon itu membuat kesusahan bagi kaum Muslimin.” (H.R. Muslim)

Seberapa kecil perkara memotong sebuah pohon, lalu bandingkan dengan seberapa besar kenikmatan surga? Bayangkan. Bukankah kebaikan itu sederhana?

Pos ini dipublikasikan di Simple things. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar